Di rumah Dr. Aqua Dwipayana, tamu yang datang silih berganti. Mulai pejabat BUMN, petinggi TNI dan rekan-rekan pemilik rumah sendiri. Padahal, Mas Aqua tidak tinggal di rumah pojok, Sawitsari, Condong Catur, Sleman tersebut.
Pakar komunikasi handal ini tinggal di Kota Bogor. Rumah berlantai dua, di Jalan Cempedak Blok H-10 tersebut hanya dihuni asisten rumah tangga Mas Aqua. Yaitu Mak Ti. Ibu setengah baya di rumah itu bersama dua anaknya: Netik Sri Wahyuni (24 tahun) dan Aryati Putri Utami (15 tahun).
Mak Ti yang nama lengkapnya Sumarti, menjadi asisten rumah tangga Mas Aqua sudah 4 tahun lalu. Waktu yang lama tersebut tentunya Mak Ti sudah banyak dikenal tamu-tamu Mas Aqua. Bahkan, ibu yang lahir 51 tahun lalu di Magelang tersebut tambah terkenal di Cowas JP (Konco Lawas) ketika karya tulis Cak Fu (Fuad Ariyanto) berhasil menggondol juara pertama dengan judul “Sarapan bersama Mak Ti Muka Terasa Ditampar”.
Saya bersama Istri sempat menginap di rumah Mas Aqua selama dua hari dua malam. Silaturahim ke rumah pakar komunikasi tersebut berkat mendapat voucher tiket pesawat dari Sriwijaya Air. Hadiah voucher tiket itu diserahkan kepada saya saat Reuni IX dan HUT III CowasJP di Desa Wisata Pentingsari, Umbulharjo, Sleman, 11-12 Agustus 2018 lalu. Voucher satu tiket itu berkat partisipasi Direktur Keuangan Sriwijaya Air Group, Ibu Gabriella Sonia Bangoro. Nah, satu tiket Sriwijaya Air hadiah dari Mas Aqua untuk Bu Sri Atin, (bekas pacar saya ….hehehe).
Bermalam di rumah Mas Aqua, di Jogjakarta, sangat berkesan. Selain fasilitasnya serba mewah, juga pelayanan Mak Ti sangat OK. Asisten rumah ini melayani semua tamunya dengan ramah, menyenangkan dan penuh rasa tulus iklas. Setiap tamu yang menginap di rumah itu diajak santai dan jangan sungkan. “Sudah kewajiban saya melayani tamu sebaik mungkin. Ini atas permintaan Bapak Aqua Dwipayana”, katanya.
Mas Aqua memberikan kebebasan kepada Mak Ti untuk merawat rumah tersebut. Bahkan bila ada rapat warga, Mak Ti yang mewakili keluarga pemilik rumah. Ini dilakukan pada saat Ibu Retno Setiasih, istri mas Aqua, tidak di tempat. Sebab pemilik rumah sehari-hari tinggal di Bogor.
Di Sawitsari, merupakan kompleks perumahan dosen. Di kawasan tersebut ada dua pejabat tinggi negera yang tinggal di sana. Mereka adalah Bapak Dr. Budiono, mantan Wakil Presiden RI era Presiden SBY. Dan rumah tinggal Bapak Dr Amin Rais, mantan Ketua MPR. Meski Mas Aqua bukan pejabat, namanya cukup dikenal. Sebab, bapak dua anak ini sukses menulis buku “The Power of Silaturahim Rahasia Sukses Menjalin Komunikasi.’’
Ngobrol dengan Mak Ti memang menyenangkan. Kalau bicara polos sehingga membuat kerasan yang diajak bicara. Pada suatu hari Mak Ti diminta untuk datang pada pertemuan PKK di kompleks Perumahan Sawitsari. Kehadiran Mak Ti tidak dianggap dan disepelekan oleh ibu-ibu yang hadir. Mak Ti tetap tegar dan mengaku kepada yang hadir datang hanya sebagai wakil pemilik rumah. “ Ya, waktu itu saya tabah, wong saya dianggap sebagai PRT,” katanya merendah.
Pada pertemuan berikutnya, Mak Ti mulai dikenal warga. Apalagi saat Mas Aqua memberikan hadiah tur kepada warga setempat. Mat Ti di kompleks perumahan terdebut tambah dihomati ibu-ibu. “Sekarang kalau warga ada keperluan mesti saya yang diminta menyampaikan kepada Bapak Aqua,” tambahnya.
Melayani tamu di rumah Mas Aqua banyak suka dukanya. Setiap tamu yang menginap di sini semua merasa senang. Bukan karena gratis. Pelayanan asisten rumah tangga di sini cukup memuaskan. Namun, ada juga tamu yang tak bersyukur mendapatkan tempat gratis dan nyaman di rumah sang motivator tersebut. “Saya berusaha melayani tamu sebaik mungkin tanpa mengeluh. Kewajiban menyenangkan orang merupakan bagian dari pekerjaan saya,” kata Mak Ti.
Beberapa bulan lalu, kata Mak Ti, ada rombongan tamu pramugari dan pilot dari Garuda Indonesia. Mereka merasa nyaman bermalam di sini. Juga ada rombongan tamu keluarga besar dari Surabaya bermalam selama beberapa hari. Fasilitas yang disediakan bukan saja tempat menginap. Acara rekreasi tamu tersebut juga mendapat fasilitas pemilik rumah. “Bapak Aqua juga menyediakan kendaraan untuk rekreasi sampai keluar kota Jogjakarta. Bapak memang ingin menggembirakan setiap tamunya dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Itulah sifat Bapak. Ya, saya harus meniru sifat yang baik ini,” kata Mak Ti.
Satu Keluarga Kompak
Ngobrol dengan wanita kelahiran Magelang ini sangat menyenangkan. Dalam obrolan ringan antara Mak Ti dengan Bu Sri Atin (isteri saya) banyak menceritakan ajakan kebaikan. Cerita Cak Fu tentang Mak Ti memang benar. Ketika istri dan Mak Ti ngobrol, saya yang duduk di kursi pojok hanya sebagai pendengar setia. Saya cukup otak-atik HP yang selalu di tangan.
Kegiatan sosial adalah bagian dari hidup sang motivator alumnus Unmuh Malang tersebut. Mas Aqua ketika berkunjung ke rumah saya di Perumnas Manukan mengatakan bahwa kegiatan sosial yang dilakukan selama ini sangat didukung oleh keluarga. Ibu Retno Setiasih yang meniti karier di Otoritas Jasa Keuangan Jakarta sangat mendukung kegiatan suaminya. Begitu juga kedua anaknya: Alira Vania Putri Dwipayana yang kini kuliah di Fakultas Bisnis Korea University, Seoul, Korsel dan Savero Karamiveta Dwipayana yang kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung.
Bu Retno di Jakarta mempunyai kesibukan luar biasa. Meski demikian kegiatan sosial juga merupakan bagian dari hidupnya. Begitu pula dengan Savero dan Alira sangat akrab dan peduli sesama teman kuliahnya. Mak Ti juga menceritakan, kalau Alira pulang dari Korea, dua kopor besar yang dibawa penuh dengan berbagai souvenir dari negera Ginseng tersebut. Dan souvenir yang dibawa langsung dibagi untuk teman kuliahnya di Jogja. Nah, kalau balik lagi ke Seoul dia juga membawa souvenir dari Jogja untuk dibagikan pada teman kuliahnya di Seoul.
Perhatian Bu Retno tidak saja kepada Mak Ti yang mengurus rumahnya. Mbak Netik juga tidak luput dari perhatian Bu Retno. Selain Mbak Netik membantu ibundanya, dia kini dikursuskan keterampilan rias pengantin dan merawat wajah di sebuah lembaga keterampilan.
Silaturahim ke Cowaser
Hari pertama di Jogja, saya menyempatkan mampir di Pasar Bringharjo. Pasar batik di tempat ini luar biasa padatnya. Waktu itu banyak rombongan dari Banjarmasin yang berwisata di kota ini. Sementara turis asing pun tak ketingalan masuk ke pasar batik tersebut.
“Ayo Kung Dirman mau rekreasi ke mana. Saya siap mengantar ke Prambanan atau ke Borobudur,” kata Mas Iwa yang kini masih aktif di koran Radar Jogja”.
“Nggak lha Mas, saya ingin bersilaturahim ke rumah sampean, Mas Erwan dan Mas Adib”.
Mas Erwan, Mas Adib dan Iwa sebelum bertemu saya memang dapat pesan singkat melalui WA dari Mas Aqua. Isinya mereka diminta untuk menemani saya selama berlibur di Jogjakarta. Namun, ketiga Cowasers ini mempunyai kesibukan yang berbeda. Mas Erwan, Koordinator Cowas Jogja, Solo, Semarang melalui pesan singkat WA: “Alhamdulillah. Sugeng rawuh Kung Dirman. Dereng saged mangggihi. Saya panitia manten tanggi ngarep omah. Nyuwun ngapunten. Sampai kapan di Jogja? Rencana acara ten pundi mawon?”
Sebelum saya berangkat silaturahim ke rumah tokoh Cowaser tersebut, sore hari Mas Iwa muncul di rumah Mas Aqua. Lelaki berambut plontos mirip anggota TNI itu langsung merangkul saya. Meski saya dan Mas Iwa bekerja di Jawa Pos Grup beda generasi. Sebab tahun 2001 saya sudah pensiun dari koran the best di Jatim tersebut.
Pertemuan Mas Iwa dan saya langsung akrab. Ngobrol ke-Jawa Pos-san di ruang tamu. Sekali-kali diiringi ketawa ringan, sambil makan ketela goreng, rengginang dan slondo makanan khas dari Magelang. “Mana kopinya Mak Ti?” tanya Mas Iwa. Mendengar permintaan ini, Mak Ti langsung membuat kopi.
“Gulanya silakan ambil sendiri ya Mas. Sampean kok lama gak ke sini,” kata Mak Ti sambil tersenyum. Ketka Mas Iwa minta secangkir kopi, saya teringat Mas Suhu, yang sering bersama Andi Serijadi santai di kafe untuk CBS (Coffee break sore). Istilah Soerjadi untuk ngopi bareng yang kemudian populer di kalangan Cowasers.
Hari Minggu 9 September 2018, sekitar pukul 08.00 pagi Mas Iwa muncul lagi di Sawitsari. Sebelum berangkat silahturahim ke rumah 3 cowaser, Mak Ti mempersilahkan sarapan dulu. Di meja masih ada oseng-oseng krecek, mie, dan masakan ikan laut bumbu pedas. Hari itu menu makanan baru capjae yang rasanya maknyusss bener.
Saya, istri, dan Mak Ti naik Suzuki Karimun langsung menluncur ke rumah Mas Iwa yang tak jauh dari kompleks Perum Sawitsari. Perjalanan hanya ditempuh sekitar 10 menit. Rumah salah satu bos redaksi Radar Jogja ini lokasinya strategis, dekat Ring Road. Rumah-rumah tersebut banyak pohon produktif di antaranya cempedak yang mulai berbuah.
Sementara di belakang rumah bertingkat ada beberapa kamar kos. Ny Iwa yang dosen itu menyambut tamunya dengan ramah. Dia minta maaf gak bisa menemani terlalu lama karena ada kegiatan di kampusnya yang tidak bisa ditinggal.
Silaturahim ke dua menuju ke rumah Mas Erwan. Jaraknya cukup jauh sekitar 5 km dari Sawitsari. Penulis buku “Produktif Sampai Mati” ini tinggal di Perum Gumuk Indah B 107 Sidoarum, Godean Jogja. Waktu saya sampai di rumah Mas Erwan, dia lagi sibuk memberikan penjelasan mengenai cara mengelola sampah sekolah. Mereka adalah siswa SMA Negeri 1 Godean. Mas Erwan, sang seniman ini memberikan penjelasan di sebuah ruang khusus di depan rumahnya.
Saya dan rombongan disambut Mbak Dyah, istri Mas Erwan dengan penuh kegembiraan. Begitu duduk di ruang tamu, hidangan makanan kecil, dan teh bunga Rosella hangat siap di meja tamu. “Enak sekali tehnya Bu”, kata Bu Sri Atin.
Mas Erwan yang pernah menjadi redaktur halaman 1 Jawa Pos ini kegiatan sampingannya adalah mengelola bank sampah. Di halaman rumah banyak terlihat barang bekas. Misalnya plastik bekas kantong minyak kelapa. Di tiap kantong tersebut dimanfaatkan untuk pembibitan tanaman.
Rumah Mas Adib di Perum Margorejo Asri Blk F-5, Kec Tempel, Sleman. Di rumah Mas Adib saya disambut seperti ketika silaturahim di rumah Mas Iwa dan Mas Erwan. Di ruang tamu sudah tersedia tempe goreng hangat dan pisang rebus kepok juga masih hangat. “Sebelum pulang ayo makan Brongkos dulu, menu masakan khas Jogja”, katanya. Karena perut sudah kenyang, maka ajakan Mas Adib terpaksa saya tolak. ”Maaf Mas perut masih kenyang. Lain waktu aja kalau saya ke sini lagi.” Di ruang tamu sudah disiapkan oleh-oleh salak pondo.
Siang itu, berakhirlah silaturahim saya bersama istri, ke rumah tiga Cowasers di Jogja. Sebelum saya kembali ke Surabaya, Mas Erwan dan Mbak Dyah sempat datang ke Sawitsari. Dia memberikan bingkisan kepada saya berupa sampel teh daun kelor dan teh bunga Rosella. “Jam berapa pesawatnya. Ayo saya antar ke bendara,” kata Mas Erwan.
“Ajakan Mas Erwan terpaksa tidak saya kabulkan karena beliau hari itu sangat sibuk dan jalan di Jogja masih macet.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 16.00. Saya dan istri siap menumpang Grab menuju Bandara Adisucipto. “Mak Ti, Mbak Netik dan Aryani terima kasih ya atas jamuannya selama saya menginap di sini.” Mak Ti spontan menjawab, “Jangan pulang dulu, lama di sini nggak apa kok,” katanya.
Ketika saya dan istri pamitan, mata Mak Ti kelihat berkaca-kaca, sambil melihat mobil Avanza meluncur meninggalkan rumah di Sawitsari milik Dr Aqua Dwipayana. Pertemuan selama dua malam dua hari begitu cepat berlalu. “Insya Allah bila ada kesempatan saya akan menginap lagi di rumah Mas Aqua”. (*)