Larangan Jaring Cantrang, Membuat Pabrik Pengolahan Ikan Lesu

Para nelayan di pantai utara Jawa, ada yang sejak dari dulu sampai sekarang masih melaksanakan mencari ikan dengan tenang. Ada juga yang sampai melakukan demo, gara-gara jaring.

Sebagian nelayan di pantai utara Jateng, mencari ikan dengan jaring cantrang. Meskipun fungsinya bukan seperti jaring harimau pukat (trawl), yang saat dioperasikan jaring trawl “menyapu” ikan sampai pada dasar laut.

Sehingga sebagian ikan kecil-kecil beserta lumpurnya kena jaring tersebut. Saat jaring ditarik olah kapal ikan pukat. Armada nelayan harimau pukat kebanyakan dari Sumatera. Akhirnya dilarang oleh pemerintah.

Pemilik kapal ikan, bila ingin mencari ikan terus menggunakan jaring porse seine . Yang dijaring ikan cukup besar dan ikan kecil didasar laut, tak terjaring. Para nelayan di TPI Brondong (Lamongan) maupun Muncar (Banyuwangi) merasa anteng belaka.

Karena hasil tangkapan ikannya, di Muncar berupa lemuru langsung dijual ke pabrik pengalengan ikan di situ. Sedangkan jenis ikan lainnya dijual ke pasar. Di Brondong hasil tangkapan ikannya dipasarkan ke Gresik, Lamongan , Tuban, Surabaya. Bahkan ikan yang diasinkan dijual ke Yogyakarta, Magelang, Solo dan kota di Jateng.

Beberapa nelayan di desa Lumpur Gresik, mengemukakan seperti Rahmadi “ Sejak dulu saya dan kawan-kawan menangkap ikan dengan jarring gilnet , hasilnya masih memadai. Kendati jaraknya 3 sampai 7 km dari pantai. Jumlah nelayan di sini sekitar 500 orang yang berada di kecamatan Gresik dan Manyar” katanya.

Akan halnya dengan para nelayan yang menggunakan jaring cantrang (pukat dogol), yang masih diberi kesempatan untuk sementara digunakan. Karena ada larangan no.2 tahun 2015.

Dari pihak nelayan hasil penangkapan dengan cantrang dijual ke pabrik pengelolaan ikan (surimi). Bilamana nelayan menggunakan jaring cantrang dilarang. Pabrik pengolahan ikan lesu juga. Ini juga menimbulkan permasalahan.

 

Pengolahan Ikan Lesu

Sementara, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan pelarangan alat tangkap cantrang sejak beberapa tahun lalu. Hal ini dikarenakan alat penggunaan alat tangkap cantrang menganggu bahkan bisa merusak ekosistem laut.

Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto mengatakan, akibat kebijakan pelarangan cantrang, kinerja pabrik pengolahan ikan (Surimi) menjadi lesu. Sebab, mayoritas nelayan selama ini menggunakan cantrang untuk menangkap ikan.

Sehingga dirinya meminta kepada Kementerian KKP untuk mencari solusinya. Pasalnya jika dibiarkan maka pabrik ini hanya tinggal menunggu untuk gulung tikar

“Surimi yang selalu mengalami penurunan luar biasa. Ini akibat kebijakan di tempat Pak Nilanto (KKP), yaitu terkait dengan cantrang,” ujarnya, belum lama ini.

Panggah mengatakan, pihaknya memang mendukung kebijakan larangan cantrang. Hanya saja, Panggah mengatakan, kebijakan tersebut juga harus diikuti dengan solusi agar tak mematikan industri terkait.

“Tentu kita pikirkan supaya industri surimi sudah eksis, sudah ada investasi dan beri kontribusi besar juga harus mendapatkan perhatian bersama, untuk sama-sama kita pikirkan bagaimana bahan baku bisa terpenuhi,” jelasnya.

Seperti salah satu caranya dengan mengizinkan pengusaha untuk mencari bahan baku alternatif. Dengan cara melakukan impor bahan baku.

“Satu sisi industri tetap terpenuhi bahan baku. Tentu ini kemudian standar dasn pengawasan jadi penting. Satu sisi lagi, bisa nggak dikasih fleksibilitas misalnya bisa impor bahan baku,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Jendral Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP, Nilanto Perbowo, mengatakan pihaknya sudah memberikan banyak tawaran kepada industri surimi untuk bisa tetap menjalankan usahanya. Bahkan dirinya sempat menawarkan opsi impor bahan baku kepada pihak Surimi.

“Surimi, itu kan berasal dari kapal cantrang. Kita sudah tawarkan opsinya. Bisnisnya kalau mau jalan terus, ayo bahan baku ikannya kita impor, terserah mau minta apa, (tapi) angkat tangan. Kemudian mau impor suriminya ayo silakan,” jelasnya. (har)